Demokrasi 2009-2014 : Dari Partai, Oleh Partai, dan Untuk Partai

by -912 Views

Seiring lengsengnya era Orde Baru tahun 1998 silam, reformasipun digadang-gadangkan oleh masyarakat Indonesia. Lengsernya Orde Baru tidak serta merta mendamaikan atau memberikan perubahan yang signifikan bagi Indonesia, akhirnya mulai tahun 2004 indonesia menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan presiden. Hal ini menunjukkan salah satu dari bentuk sistem demokrasi.
Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sosilo Bambang Yodoyuno atau yang dikenal dengan SBY adalah presiden pertama pilihan rakyat Indonesia hasil dari pemilu, dan Yusuf Kalla sebagai wakilnya. Harapanpun digantungkankan kepada SBY untuk mewujudkan cita-cita rakyat. Setelah diangkat, para kabinetpun disusun untuk melaksanakan tugas Negara.

Berbagai perubahan dan gebrakan dilakukan pemerintahan SBY, salah satu golongan yang sangat bangga adalah para guru dan dosen, karena mereka bisa mendapatkan sertifikasi untuk menunjang kinerja dan meningkatkan kualitas pendidikan. Maklum saja mereka mendapatkan tunjangan sebesar gaji pokok.
Terlepas dari hal tersebut, Saya juga bangga dengan beberapa kabinet yang dimilikinya, salah satunya adalah Menpora Adhiyaksa Dault. Tidak pernah saya melihat menteri seagresif beliau, semasa hidup saya maksudnya, ancungan jempol untuk beliau. Seiring berjalannya waktu, masa jabatan 5 tahunpun akan berakhir. Akhirnya di tahun 2009 Indonesia kembali menyelenggarakan pesta demokrasi, yaitu pemilu untuk kembali memilih wakil rakyat dan pemimpin Negara yang baru.
Dalam pemilu kali ini, saya ikut terlibat. Dengan membawa undangan terus datang ke TPS untuk mengikuti pemilu presiden, saya ingat pesan Ayah sebelum memilih, beliau berdoa “jika ia jujur maka menangkanlah, jika tidak kalahkanlah”. Sayapun begitu, namun tangan saya tidak dapat memilih salah satu, akhirnya saya golput.
Setelah beberapa hari, akhirnya SBY kembali ditetapkan sebagai Presiden bersama Boediono. Berbeda dengan periode pertama, khususnya untuk pejabat yang akan menduduki kursi kabinet Negara. Sebelumnya, pemerintah dengan partai pengusungnya menjajaki koalisi dengan partai politik lain untuk menjalakan roda pemerintahan dan menduduki kursi kabinet. Hal ini ditengarai sebagai bentuk dari demokrasi, karena orang-orang partai politik merupakan wujud dari wakil rakyat.

Seperti diprediksi para pengamat, 3 partai sebagai rival di pemilu tersebut tidak ikut koalisi dan disebut partai oposisi, yaitu PDIP, Gerindra, dan Hanura. Sementara partai lainnya ikut koalisi, yaitu partai yang memiliki suara dan dapat menempatkan beberapa wakilnya di DPR, seperti Demokrat, Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PKS.
Kabinetpun berhasil dibentuk, terlihat jelas beberapa ketua parpol koalisi menduduki kursi kabinet, yang mengejutkan menteri favorit saya tidak masuk lagi dan digantikan oleh Andy Malarangeng. Selain itu hanya ada beberpa orang yang tidak berasal dari partai koalisi, salah satunya adalah orang asal banua yaitu Gt. Muhammad Hatta sebagai menteri Lingkungan Hidup. Sebagian masyarakat banupun bangga.
Para menteri tidak dapat duduk tenang, karena resafle bisa saja terjadi seiring kebijakan Presiden dan partainya. Akhirnya kejadian, menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar digantikan oleh Amir Syamsudin dari Partai Demokrat. Sebelumnya saya menaruh kagum kepada beliau dengan berbagai gebrakannya untuk menegakkan hukum dan HAM, namun Pemimpin berkata lain. Sementara itu, Menteri LH dipindah ke Menristek. Resafle ini layaknya mutasi pejabat atau pegawai, dengan menggunakan sedikit kekuasaannya tanpa mempertimbangkan aspek kinerja dan program yang dicanangkan, karena tidak berselang lama sudah ada resafle.
Seiring berjalannya waktu, dinamika politik terus bergema. Terlebih dengan beberapa acara televisi yang blak-blakan dengan ‘demokrasi’ yang diusung oleh parpol, sidang paripurnapun berlangsung terbuka. Masyarakat dapat melihat langsung apa yang terjadi di gedung MPR-DPR, ‘demokrasi’ itupun terlihat pada salah satu sidang pripurna, dimana ada salah satu anggota dewan dari partai koalisi tidak mendukung kebijakan yang disuarakan pemerintah, tentu saja hal ini menjadi isu besar politik, bagi mereka. Menurt saya ia benar, paling tidak menyuarakan apa yang benar untuk dirinya, terlebih untuk rakyat, bukan menyuarakan suara koalisi.
Di tahun 2013, tepatnya di bulai Juni masyarakat kembali disuguhkan sidang paripurna untuk melihat pengesahan RAPBN-P yang digalang oleh pemerintah, yang isinya untuk mensahkan kebijakan menaikkan harga BBM, dengan mengurangi subsisdinya dan konspinsasi dari Subsidi tersebut.
Seperti yang kita ketahui, sudah pasti dengan partainya serta dukungan suara koalisi, RAPBN-P akan berjalan mulus. Seperti yang diprediksi, sidang itu akan berakhir dengan voting selain itu hasilnypun dapat diketahui, karena jumlah suara partai koalisi jauh lebih banyak dari partai oposisi, meski ditambah 1 partai koalisi yang tidak setuju.
‘demokrasi parpol’pun terlihat jelas, suara voting Nampak jelas terlihat. Tidak ada atas dasar suara rakyat, jika mendukung maka akan mendukung semuanya, dan sebaliknya. Kita bertanya atas dasar apa mereka memberikan suara dukungan/tidak, tidak ada warna dalam hasil voting tersebut. Jika ada suara yang berbeda, maka akan membahayakan posisinya di kursi dewan dan parpol itu sendiri, seperti kejadian beberpa waktu lalu.
Mereka yang meagung-agungkan demokrasi, tapi tidak menjalankan demokrasi itu sendiri. Dalam voting seharusnya layaknya jargon pemilu, yaitu luber jurdil: Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur dan Adil, namun tidak di sana. Terlebih Ketua DPR menyuruh anggota dewan salah satu parpol untuk berdiri bagi yang mendukung, ya mau tidak mau harus berdiri karena risiko yang diembannya. Jika kejadiannya seperti ini, untuk apa sidang paripurna sementara hasilnya sudah diketahui. Kebijakan disetujui atas dasar kekuasaan.
Sementara itu, salah satu parpol koalisi yang membelok diprediksi akan dikeluarkan dari koalisi tersebut dan menterinyapun ikut dicopot. Para politisi dan petinggi partai koalisi untuk menyerukan kepada partai yang membelok, untuk segera mengundurkan diri dan menarik menterinya. Politik dilawan politik sehingga tidak ada keputusan baik itu dari pemimpin atau anggota koalisi. Lagi-lagi hal ini tidak menunjukkan demokrasi yang sesungguhnya, seandainya koalisi diputuskan dan menterinya akan dicopot, maka bisa kita simpulkan demokrasi adalah otoritas kekuasaan.
Belum lagi pemimpin kita ketika partainya bergejolak, beliau pergi ke Tanah Suci untuk umrah dan shalat istikharah di sana, dengan tujuan mendoakan partainya, dan berjanji akan melakukan apapun untuk partainya. Penting partai atau rakyat? Ngapain istikharah di sana? Apa bedanya dengan di daerah sendiri dengan kondisi yang dialami sekarang? Pernahkan bersikap begitu terhadap rakyatnya? Selanjutnya, pakai uang apa pergi ke sana? Jika biaya pribadi tidak masalah, kalau uang Negara, apakah tepat?

Jadi, menurut penulis demokrasi yang diagung-agungkan hanyalah bualan semata. Dan dapat disimpulkan demokrasi adalah dari parpol, oleh parpol, dan untuk parpol.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *