Oleh: Roniansyah
Setiap momen hari kemerdekaan Republik Indonesia yang diperingati setiap tahun, memiliki arti kebahagiaan dan kegembiraan yang mendalam bagi penghuni lembaga pemasyarakatan atau bagi Narapidana.
Karena di momen yang sakral dan bersejarah bagi bangsa Indonesia, mereka (Narapidana) berkesempatan mendapatkan remisi atau pengurangan masa menjalani pidana.
Remisi, sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasona H Laoly dalam sambutan tertulisnya, remisi merupakan hak mendapatkan pengurangan masa menjalani pidana yang telah diatur dalam pasal 14 Ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Selain itu, diberikannya remisi juga merupakan wujud apresiasi pencapaian perbaikan diri yang tercermin dari sikap dan perilaku sehari-hari.
Perbaikan itu tercermin dari sikap warga binaan yang taat selama menjalani pidana, lebih disiplin, lebih produktif, dan dinamis.
Hal inilah yang menjadi tolak ukur pemberian remisi. Pemberian remisi tidak berdasarkan pada latar belakang pelanggaran hukumnya, tetapi remisi diberikan berdasarkan pada perilaku Narapidana selama menjalani pidana.
Remisi juga dapat dipandang sebagai stimulus bagi para Narapidana untuk terus berkelakuan baik. Karena jika tidak mempunyai perilaku baik maka remisi tidak akan diberikan.
Transparan dan Akuntable
Pemberian remisi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri nomor 3 Tahun 2018 memiliki mekanisme yang sangat transparan dan berbasis sistem yang mendayagunakan teknologi informasi.
Sistem digitalisasi ini dibuat untuk memangkas birokrasi yang berbelit yang sarat dengan peluang-peluang transaksional.
Masyarakat juga dapat ikut melakukan pengawasan melalui aplikasi sehingga remisi lebih transparan dan akuntabel.
Selain menerapkan sistem teknologi informasi, Kemenkumham (dalam hal ini Pemasyarakatan) juga membuat terobosan yang dinilai berani.terobosan tersebut berupa program yang bernama “Revetalisasi Sistem Pemasyarakatan Sebagai Bagian Sistem Peradilan
Pidana”.
Dalam program ini, pemasyarakatan memiliki mekanisme Lapas maksimum sekuriti, medium sekuriti, dan minimum sekuriti. Artinya, di dalam Lapas pembinaannya akan mengabaikan skema waktu atau tidak tergantung pada waktu. Pentahapan pembinaan akan sangat bergantung pada perubahan perilaku dari masing-masing warga binaan.
Dalam mekanisme ini, seorang Warga Binaan Pemasyarakatan dapat berpindah dari mekanisme tersebut, hingga ke tingkat minimum sekuriti. Di tingkat ini akan membuka pintu reintegrasi sosial secara lebar-lebar melaui upaya pembinaan di tengah-tengah masyarakat dan keluarga.
Bagi seorang Narapidana, meski secara hukum mereka dirampas kemerdekaannya, tapi mereka tetap memiliki kemerdekaan untuk terus berkarya.