![]() |
Pegunungan Meratus |
Selama tinggal di Martapura tepatnya di Sekumpul, menghadirkan kerinduan tersendiri jika pergi ke Banjarmasin. Satu atau dua bulan saja tidak ke Banjarmasin, akan banyak melihat berbagai perubahan, paling tidak merasakan keramaian yang berbeda.
Hari kamis kemaren, saya pergi ke Banjarmasin untuk melaksanakan salah satu kegiatan kami. Semangat pun hadir, terlebih bertepatan dengan gelaran Festival Budaya Pasar Terapung yang telah berlangsung sejak Selasa malam. Kamera pun disiagakan untuk mengabadikan momen yang menarik.
Setelah makan siang, acara berakhir sayapun berkeliling di stand Kampung Banjar. Namun suasana kurang begitu ramai, karena hari tersebut merupakan hari terakhir pelaksanaan festival. Sebagian stand sudah siap-siap untuk berkemas. Tapi tidak untuk stand HST yang terlihat sangat ramai.
Coba ditengok, eh ternyata ada hal unik dan menarik, yaitu pembuatan gelang tangan yang langsung diayam atau dibuat di tangan. Gelang khas dari Suku Dayak (Galang Simpai), karena dibuat oleh orang Suku Dayak dan bahannya dibawa langsung dari pegunungan atau hutan Meratus. Sayapun mampir dan ikut membuat gelang tersebut, sambil menunggu giliran saya berbincang-bincang dengan salah satu penjaga stand di sana. Uniknya berbicaranya layaknya seorang turis dari luar derah, padahal orang Barabai,, hee.
Dirasa cukup lama berbincang, sayapun mengungkap identitas sebagai orang yang berasal dari Barabai, Birayang, tepatnya di Desa Cukan Lipai. Dan ternyata, orang yang berbicara dengan saya adalah orang yang lama tinggal di Birayang, sekolah di sana selama 6 tahun, dan satu sekolah waktu SMP. Ia adalah kakak kelas, tepat satu tahun di atas angkatan kami, ia adalah Muhammad Badri.
![]() |
Foto 1: Badri Beraksi dengan Salah Satu Keahliannya |
Perbincanganpun makin seru dan menjurus ke hal-hal privasi. Saya akui, selama sekolah di SMP saya sangat menjaga perilaku, perkataan atau pertanyaan terhadap mereka (takut tersinggung). Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena saya belum terbiasa bergaul atau bertemu dengan mereka bahkan non muslim. Seiringnya waktu, saya dapat membuka hati dan paham bahwa mereka adalah saudara kita meski memiliki perbedaan.
Sayapun tidak canggung untuk bertanya-tanya, baik terkait daerah, suku, agama atau keyakinan mereka. Salah satunya adalah terkait permintaan untuk mensahkan agama atau keyakinan mereka, karena tidak termasuk dari 6 agama resmi yang ada di Indonesia. Eh ternyata, salah satu penggagas dan oratornya adalah Badri.
Dari pertemuan itu banyak hal yang dapat saya pelajari. Tertuma masalah kegigihan, dengan kegigihannya seorang anak Meratus mampu kuliah dan lulus di Unlam yang merupakan Perguruan Tinggi terbaik di Kalimantan Selatan. Sekarang ia aktif di salah satu LSM yang membuatnya bisa keliling Indonesia, ia juga aktif dalam membangun perkampungannya, dengan mengajukan berbagai bantua berupa proposal ke Pemda maupun Pemprov.
Selain itu ia juga aktif terlibat dalam pembuatan video promosi pariwisata perkampungan Dayak di Batang Alai. Sekilas melihat, gambarnya luar biasa, seorang anak Pegunungan Meratus memiliki kemampuan yang luar biasa dan memiliki daya saing.
Hal lainnya yang membuat saya kagum, ia bersyukur sudah berpindah keyakinan ke Agama Islam, saya sangat terkejut dan berpikir ini adalah hal luar biasa. Terlebih ia tetap memperhatikan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat dan sukunya, terutama terkait agama atau keyakinan.
Terakhir sebelum berpisah, ia menawarkan untuk menjual madu yang diproduksinya, (wahaaa,,) ini mantap. Selain dapat madu asli, saya juga bisa berbagai dengan masyarakat lainnya dalam memanfaatkan madu nantinya, mudah-mudahan.
Terakhir sebelum berpisah, ia menawarkan untuk menjual madu yang diproduksinya, (wahaaa,,) ini mantap. Selain dapat madu asli, saya juga bisa berbagai dengan masyarakat lainnya dalam memanfaatkan madu nantinya, mudah-mudahan.
Foto Pegunungan Meratus by : http://ega-vampire.blogspot.com/
Foto 1 by: FB Baderi Kiyu